Sementara
daun pohon yang terinjak oleh kakinya hanya bergoyang-goyang saja. Hal ini
membuktikan bahwa ilmu mengentengi tubuhnya sudah berada pada taraf yang sangat
tinggi. Untuk mengimbangi kecepatan cahaya itu ternyata si pertapa harus
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Namun begitu ia tak
berhasil mengimbangi kecepatan cahaya yang ada di depannya. Untunglah sinar
cahayanya bisa membantu menolong kemana arah cahaya itu bergerak.
“Celaka ! cahaya itu terlalu cepat
bagiku, aku tak mampu mengejarnya”
Gumamnya dalam hati
Si
Pertapa masih saja mengejarnya, tak mau ia melepaskan barang sedetikpun.
Bayangannya berkelebat cepat sekali. Seandainya ada manusia yang melihatnya.
Mungkin dikiranya hantu malam yang bergentayangan. Tapi untunglah tidak satupun
manusia yang melihatnya saat itu. Pohon-pohon yang lebat dan tebing yang terjal
bukan halangan baginya, kecepatan tubuhnya susah diukur bagi manusia awam.
Kita tinggalkan si pertapa yang
sedang mengejar cahaya terang itu. Marilah kita ikuti dan menengok ke sebuah
desa yang banyak ditumbuhi oleh bambu ori dan kebayakan desa-desa waktu itu masih
banyak tumbuh bambu ori di halaman rumah masing-masing. Bahkan rumah-rumah
penduduk saat itu kebanyakan masih berbahan baku dari bambu. Selain mudah didapat
juga saangat sederhana cara membangun rumah dari bambu. Kebanyakan orang jaman
dulu membangun rumah yang penting bisa untuk berteduh.
Desa itu masih kelihatan sunyi,
karena malam masih menyelimuti bumi. Suasana di sana sini masih nampak gelap
gulita. Sebuah rumah yang sederhana namun kelihatan bersih. Halaman rumah itu
ditata dengan rapi dan di sekitarnya ditanami bunga-bunga beraneka warna,
sehingga indah dipandang mata serta menambah asri rumah tersebut. Karena hari
masih gelap keindahan halaman itu masih samar-samar terlihat.
Yang mengherankan adalah seorang
anak kecil yang berusia sekitar 7 tahun. Saat itu ia sudah terjaga atau mungkin
malah belum tidur sama sekali. Ia merasa tak dapat memejamkan mata. Meskipun
tubuhnya dibaringkan di atas tempat tidur. Ia merasa tidak nyaman kadang miring
ke keri kadang ke kanan kadang telentang kadang tengkurap. Ternyata keadaan
seperti ini telah berlangsung sejak sore hari. Saat ibunya mencoba menengoknya
ia pura-pura tidur pulas. Yang menjadi bayangan adalah perkataan ayahnya yang
masih mengiang di telinganya.
“Anakku! Ayah mau pergi jauh. Kau
harus berada di rumah dan harus nurut sama ibu. Kamu harus mau membantu ibu di
rumah.”
Begitulah
pesan terakhir ayahnya yang sampai sekarang masih teringat di kepalanya. Ia tak
dapat menebak kemana ayahnya pergi. Karena waktu ia bertanya kepada ayahnya ia
tak mau menjawabnya.
“Ayah sebenarnya mau kemana ?”
“Ayah mau pergi jauh, kamu tak boleh
nakal ya nak !”
Jawaban
ayahnya masih terdengar ditelinganya. Sudah beberapa hari ia nampak murung.
Karena sampai hari ini ayahnya masih belum kembali juga. Perasaannya menjadi
tak enak, jangan-jangan ayahnya kenapa napa begitu pikirnya. Meskipun Arya
Megantoro baru berusia 7 tahun namun ia mempunyai sifat yang lebih dewasa
dibanding dengan umurnya. Perawakan anak itu bisa dikatakan tegap wajahnya
tampan atau bisa dikatakan lebih dari tampan. Mukanya bulat telur matanya
bersinar tajam, hidungnya mancung dan kulitnya sawo matang tapi bersih. Meski
ia anak desa tapi tidak seperti kebanyakan anak desa yang dekil dan kotor.
Semenjak
kecil ia mempunyai tanda-tanda seorang anak yang cerdas. Cara berpikirnya sudah
melebihi anak setaranya, kadang orang tuanya tak percaya bahwa Arya Megantoro
bisa berpikir sejauh itu. Hal itu dilihat karena umur 7 tahun pada masa itu
masih bisa dikatakan masih anak-anak.
Versi
pdfnya bisa di donload di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar