Rabu, 17 Februari 2016

PRAJURIT SANDI MATARAM 18022016



Sementara daun pohon yang terinjak oleh kakinya hanya bergoyang-goyang saja. Hal ini membuktikan bahwa ilmu mengentengi tubuhnya sudah berada pada taraf yang sangat tinggi. Untuk mengimbangi kecepatan cahaya itu ternyata si pertapa harus mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Namun begitu ia tak berhasil mengimbangi kecepatan cahaya yang ada di depannya. Untunglah sinar cahayanya bisa membantu menolong kemana arah cahaya itu bergerak.
            “Celaka ! cahaya itu terlalu cepat bagiku, aku tak mampu mengejarnya”  Gumamnya dalam hati
Si Pertapa masih saja mengejarnya, tak mau ia melepaskan barang sedetikpun. Bayangannya berkelebat cepat sekali. Seandainya ada manusia yang melihatnya. Mungkin dikiranya hantu malam yang bergentayangan. Tapi untunglah tidak satupun manusia yang melihatnya saat itu. Pohon-pohon yang lebat dan tebing yang terjal bukan halangan baginya, kecepatan tubuhnya susah diukur bagi manusia awam.
            Kita tinggalkan si pertapa yang sedang mengejar cahaya terang itu. Marilah kita ikuti dan menengok ke sebuah desa yang banyak ditumbuhi oleh bambu ori dan kebayakan desa-desa waktu itu masih banyak tumbuh bambu ori di halaman rumah masing-masing. Bahkan rumah-rumah penduduk saat itu kebanyakan masih berbahan baku dari bambu. Selain mudah didapat juga saangat sederhana cara membangun rumah dari bambu. Kebanyakan orang jaman dulu membangun rumah yang penting bisa untuk berteduh.
            Desa itu masih kelihatan sunyi, karena malam masih menyelimuti bumi. Suasana di sana sini masih nampak gelap gulita. Sebuah rumah yang sederhana namun kelihatan bersih. Halaman rumah itu ditata dengan rapi dan di sekitarnya ditanami bunga-bunga beraneka warna, sehingga indah dipandang mata serta menambah asri rumah tersebut. Karena hari masih gelap keindahan halaman itu masih samar-samar terlihat.
            Yang mengherankan adalah seorang anak kecil yang berusia sekitar 7 tahun. Saat itu ia sudah terjaga atau mungkin malah belum tidur sama sekali. Ia merasa tak dapat memejamkan mata. Meskipun tubuhnya dibaringkan di atas tempat tidur. Ia merasa tidak nyaman kadang miring ke keri kadang ke kanan kadang telentang kadang tengkurap. Ternyata keadaan seperti ini telah berlangsung sejak sore hari. Saat ibunya mencoba menengoknya ia pura-pura tidur pulas. Yang menjadi bayangan adalah perkataan ayahnya yang masih mengiang di telinganya.
            “Anakku! Ayah mau pergi jauh. Kau harus berada di rumah dan harus nurut sama ibu. Kamu harus mau membantu ibu di rumah.”
Begitulah pesan terakhir ayahnya yang sampai sekarang masih teringat di kepalanya. Ia tak dapat menebak kemana ayahnya pergi. Karena waktu ia bertanya kepada ayahnya ia tak mau menjawabnya.
            “Ayah sebenarnya mau kemana ?”
            “Ayah mau pergi jauh, kamu tak boleh nakal ya nak !”
Jawaban ayahnya masih terdengar ditelinganya. Sudah beberapa hari ia nampak murung. Karena sampai hari ini ayahnya masih belum kembali juga. Perasaannya menjadi tak enak, jangan-jangan ayahnya kenapa napa begitu pikirnya. Meskipun Arya Megantoro baru berusia 7 tahun namun ia mempunyai sifat yang lebih dewasa dibanding dengan umurnya. Perawakan anak itu bisa dikatakan tegap wajahnya tampan atau bisa dikatakan lebih dari tampan. Mukanya bulat telur matanya bersinar tajam, hidungnya mancung dan kulitnya sawo matang tapi bersih. Meski ia anak desa tapi tidak seperti kebanyakan anak desa yang dekil dan kotor.
Semenjak kecil ia mempunyai tanda-tanda seorang anak yang cerdas. Cara berpikirnya sudah melebihi anak setaranya, kadang orang tuanya tak percaya bahwa Arya Megantoro bisa berpikir sejauh itu. Hal itu dilihat karena umur 7 tahun pada masa itu masih bisa dikatakan masih anak-anak.

Versi pdfnya bisa di donload di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar