Pagi harinya mereka bekumpul dengan
gembira, terutama Ronngo Puspo dan isterinya, yang bernama Warsih. Nyi Warsih
seorang wanita yang cantik. Tubuhnya sedang saja sedang usianya kira-kira baru
28 tahun. Aryo Megantoropun kelihatan cerah pagi itu. Melihat kedua orang tuannya begitu
bahagia di pagi itu.
Tapi sesungguhnya kebahagiaan orang
tua itu bukan lantaran mereka saling bertemu kembali, tapi lebih dari pada ltu.
Nyi Warsih saat ini sudah tahu peristiwa yang dialami oleh anak satu-satunya. Sebab
itulah mereka suami isteri itu sangat berbahagia.
“Kakang
Ronggo apakah kau jadi membawa Aryo Megantoro kepada Ki Buyut Danurekso hari
ini?” Nyi Warsih memecah kesunyian. Mendengar pertanyaan ibunya bocah kecil
Aryo Megantoro menjadi tertarik.
“Benar
Nyi kapan lagi kalau bukan hari ini. Aku ingin kepastian dari orang sakti itu”
Mendengar disebutnya orang sakti .Aryo
Megantoro menjadi penasaran. Ia tak dapat menahan rasa ingin tahunya. Maka cepat-cepat
ia memotong pembicaraan.
“Ayah
siapa orang sakti itu ?” penasaran
“Hemm
….rupanya kau mulai tertarik anak kecil ?”
“Ah…
ayah masih saja menganggap aku sebagai anak kecil” Sambil merengut. Melihat hal
itu ayahnya tertawa panjang, sementara ibunya cuma tersenyum saja.
“Kalian
anak dan bapak sama-sama sifatnya. Kalau sudah membicarakan masalah oang sakti atau
ilmu kesaktian. Masalah lain seperti tak ada gunanya, memangnya isi dunia ini
hanya masalah kesaktian saja yang ada. Huh !”
Kini giliran anak dan bapak yang
saling tertawa.
“Nah
itu ….kalian malah menetawai aku, kalian memang sama-sama bandel.”
“eh…siapa
yang bandel , aku tidak bandel ….iyakan Aryo – Memandang ke arah Aryo Megantoro
– Apakah aku bandel ?” Mengulang pertanyaan.
“lho
…ayah kok Tanya sama aku, mana aku tahu” Balas Aryo Megantoro
“Sudahlah
nanti malah tidak karuan, Kakang – Berhenti sebentar – aku sudah siapkan bekal
untuk perjalanan, sekedar makanan kecil.”
Setelah bersiap-siap dan menata semua
bekal yang mau di bawa pergi dan kedua anak bapak itu berpamitan kepada Nyi
Warsih akhirnya Ranggo Puspo dan Aryo Megantoro meninggalkan kampung halamannya.
Meeka meninggalkan desa itu dengan mengendarai kuda. Binatang itu berlari kencang
menyusuri jalan-jalan perkampungan, debu mengepul setelah dilewati kuda Ronggo
Puspo. Aryo Megantoro duduk tenang di depan ayahnya. Kelihatan ia senang
sekali, perjalan ini adalah perjalan pertama kalinya bagi Aryo Megantoro
bersama ayahnya. Kuda itu masih berlari, kelihatannya memang termasuk kuda yang
pilihan sudah begitu jauh berlai tapi masih nampak kuat dan gesit. Hari mulai
merangkak menuju siang, tak terasa mereka berada di punggung kuda sudah hampir
setengah hari penuh. Kuda itu kini menyusuri jalan setapak di perbukitan.
“Aryo
, bagaimana kalau kita istirahat sebentar “
Aryo Megantoro hanya mengguk
mengiyakan ajakan bapaknya.
“Nah
dipohon besar di depan itu kita istirahat.” Kembali Ranggo Puspo menggebrak
kudanya. Ia bermaksud mempercepat lari kudanya. Setelah sampai Ronggo Puspo
turun dari kudanya. Kemudian Aryo Megantoropun diturunkan dari kuda. Sambil istirahat
itulah mereka menikmati bekal makanannya.
Angin perbukitan bertiup menerpa
wajah dan tubuh mereka. Berkat angin yang bertiup itu mereka tak merasakan
teriknya matahari di siang hari.
Secara iseng Aryo Megantoro
mengingat-ingat pelajaran ilmu kanuragan atau ilmu silat yang pernah diajarkan
oleh ayahnya. Dasar otaknya encer semua pelajaran dari ayahnya cepat ia
hapalkan dan ia kuasai. Dan tanpa sengaja tangannya begerak –gerak memainkan
sebuah jurus silat. Melihat itu Ronggo Puspo tersenyum, ia tetap diam di
tempatnya dan pura-pura tak melihatnya. Gerakan Aryo Megantoro semakin indah
dan lincah, semakin sebat dan cepat. Senyum orang tua itu semakin melebar.
Sedari tadi Aryo Megantoro berusaha memainkan jurus-jurus dengan sepenuh
tenaga. Ia masih saja memainkan jurus-jurus andalannya.
Versi pdfnya bisa di donload di sini