Kamis, 14 April 2016

PENDEKAR SANDI MATARAM 15042016

Pendekar Sandi mataram 15042016
Kembali Ranggo Puspo memberi wejangan kepada anaknya. Bahwa semua kekuatan itu berasal dari Tuhan Penguasa Alam. Tiba-tiba saja matanya yang tajam melihat debu mengepul di jauh di depan, namun begitu matanya dapat melihat bahwa debu itu adalah akibat suatu pertempuran.
            “Hai nyai Roro Wuni serahkan surat wasiat itu kepadaku, aku berjanji tak akan mengganggumu lagi”.
Nyai Roro Wuni adalah seorang wanita yang berusia sekitar 40 tahun. Tapi dalam usia yang menginjak kepala empat ia masih kelihatan cantik dan awet muda. Sehingga orang akan mengira kalau ia masih berusia 28 tahun saja. Waktu itu Roro Wuni dihadang oleh Wiroguno dan kawan-kawan. Sudah beberapa jurus mereka saling bertempur, akibatnya debu-debu di sekitar tempat itu berhamburan. Hal inilah tadi yang dilihat oleh Ronggo Puspo.
            “Keparat .....kau Wiroguno, kau berani menghadangku di tempat ini, aku tak akan sudi memberikan surat wasiat ini kepadamu”.
            “Baiklah Roro Wuni karena dengan jalan halus kau tak mau memberikan, maka dengan terpaksa menggunakan kekerasan”. Ancam Wiroguno dengan maksud Agar Roro Wuni mau menyerahkan secara baik-baik. Tapi mana mungkin Roro Wuni mau menyerahkannya, seandainya mau tak akan terjadi perkelahian diantara mereka.
            “Memangnya aku takut dengan ancamanmu itu Wiroguno, aku tak akan mau menyerahkan kepadamu walaupun sampai titik darah penghabisan, apalagi kau seorang pengkhianat”.
Roro Wuni sengaja membakar hati Wiroguno dengan menyebutnya ia sebagai pengkhianat. Siasat Roro Wuni berhasil juga. Terbukti wajah Wiroguno nampak kemerahan tanda ia menahan kemarahan. Nafasnya memburu cepat dadanya bergolak hebat turun naik.
            “Bangsat keparat, wanita rendah apa maksudmu mengatakan aku sebagai seorang pengkhianat.......ayo katakan ?” Dengan nada geram
Melihat siasatnya berhasil, kembali ia mencoba memanas manasi hati Wiroguno.
            “Siapa yang tak kenal Wiroguno yang bergelar Si Tambang Maut yang sudah bisa menggantung leher manusia dengan senjatanya yang ampuh yang berupa tambang (tali). Siapa yang tak kenal dirimu yang berasal dari perguruan Nagasewu yang sudah biasa mempermainkan wanita, serta siapa yang tak tahu Si Tambang Maut yang suka menjilat-jilat kepada bangsa asing. Apakah itu namanya bukan seorang pengkhianat”.
Wiroguno adalah anak murid dari perguruan Nagasewu dan perguruan ini di mata masyarakat memang terdengar jelek pamornya. Terutama mereka suka mengganggu kaum hawa (wanita). Banyak wanita yang dirusak kehormatannya baik wanita itu masih gadis maupun yang sudah bersuami. Mereka tidak pandang bulu. Meskipun dalam hal ini Wiroguno tidak termasuk sebagai seorang laki-laki  yang doyan perempuan. Dan sebenarnya perbuatan terkutuk dan amoral itu dilakukan oleh ketiga paman gurunya yakni Nagasewu, Nagamurti dan Nagakruro yang di dunia persilatan bergelar “TIGA NAGA IBLIS”. Mereka ketiga Naga itu telah membuat nama perguruannya tercemar. Tapi yang membuat Wiroguno tak dapat menahan kemarahannya adalah masalah ia dikatakan manusia penjilat. Meskipun benar bahwa Wiroguno saat ini sedang merintis kerjasama dengan bangsa asing namun belum tentu kalaun ia menjilat bangsa asing tersebut.
            “Keparat mulutmu perlu disumpal dengan tanganku ini biar kau tak ngoceh ngalor ngidul”.
            “Kalau kamu bisa coba lakukan aku ingin tahu bagaimana caramu menyumpal mulutku ini”.
Tantang Roro Wuni sambil tersenyum mengejek. Sementara lima orang anak buah Wiroguno masih berdiam diri, walaupun hatinya turut marah. Tapi mereka tak berani berbuat apa-apa. Sebelum mendapat aba-aba dari Tuannya. Lagi pula mereka sudah mendengar kesaktian Roro Wuni yang dibuktikan tadi dalam gebrakan pertama melawan Wiroguno, bahwa ilmu silatnya tidak berada dibawah Wiroguno.
            Ronggo Puspo dan Aryo Megantoro sudah sampai di tempat itu namun mereka bersembunyi dibalik semak-semak. Semua pembicaraan antara Roro Wuni dan Wiroguno dengan jelas dapat didengarnya.
            “Ayah kalau aku boleh tanya, siapa diantara mereka yang lebih unggul, si wanita atau laki-laki yang berbadan kekar ?” Aryo Megantoro ingin tahu.
            “Menurutku si wanita itu yang lebih unggul, tapi entahlah kita tunggu saja apa yang terjadi”.
Mendapat jawaban itu Aryo Megantoro menjadi lega. Sebab ia menginginkan wanita itu yang menang sedang kepada Wiroguno ia merasa tidak senang.
            Kita kembali ke arena pertempuran. Wiroguno yang semakin kalap sudah mulai menyerangnya lebih dulu. Tenaganya sungguh luar biasa terbukti setiap pukulannya mengandung kesiur angin. Ia tak mau lagi coba-coba seperti dalam gebrakan pertama. Ia dapat menyimpulkan bahwa tenaga lawan tidak berada di bawahnya. Setiap pukulannya adalah merupakan ancaman maut bagi musuhnya. Tangan kanannya sudah berkelebat lagi mengarah ke tengkuk namun gagal, secepat kilat tangannya menggeliat ke arah lain dan tiba-tiba pukulan itu mengarah ke bahu. Roro Wuni sudah bersiaga penuh, sebelum bahunya terkena pukulan ia telah mampu menarik bahunya ke belakang. Pukulan Wiroguno meleset lagi. Tapi ia tak putus asa. Cepat sekali tangan kirinya menyusul menggempur kepala. Ia yakin kali ini pasti berhasil sekali gempur kepala Roro Wuni pasti pecah. Memang keadaan Roro Wuni dalam bahaya, sekali salah jalan nyawanya pasti melayang. Dalam kesulitan itu ia tak menjadi putus asa. Roro Wuni adalah wanita yang sakti, ia sudah lama berkelana di dunia persilatan, asam garamnya dunia persilatan  sudah kenyang baginya. Untuk itu serangan Wiroguno tidaklah sulit baginya untuk menghindar, apa yang dilakukan sungguh mengagumkan. Ia bersalto balik ke belakang sedang kaki kanannya masih bisa menjejak ke arah muka Wiroguno. Untung laki-laki ini bisa miringkan kepala. Anak buah Wiroguno menjadi tercekat hatinya melihat kenyataan itu. Mereka semakin yakin kepada Roro Wuni bahwa wanita itu bukan orang sembarangan. Wirogunopun menjadi heran karena tebakannya meleset malah ia sendiri yang kena serang. Perasaannya tambah mendongkol ia harus mampu mengalahkan wanita itu agar tidak dipandang rendah oleh anak buahnya sendiri. Kembali ia menyerang dengan dasyatnya, tubuhnya berkelebat cepat. Ternyata Wiroguno meningkatkan ilmu silatnya. Roro Wuni tak mau mati konyol, diserang begitu gencar iapun tingkatkan ilmunya. Perkelahian itu kini benar-benar menjadi hebat. Roro Wuni mulai balas menyerang, gerakannya lincah tapi penuh tenaga. Mereka saling serang dan saling gempur mencari kelengan musuh. Sebelas jurus telah berlalu tapi mereka tak mau mengurangi tenaga bahkan masing-masing menambah tenaga.
            “Wiroguno bagaimana caramu menyumpal mulutku, dari tadi kau Cuma main-main seperti monyet kepanasan”. Ejek Roro Wuni
Wiroguno tak menggubris perkataan Roro Wuni ia tak tahu bahwa dirinya dipancing oleh siasat Roro Wuni agar kemarahannya menjadi-jadi. Apabila hal itu terjadi maka bisa dikatakan ia sudah kalah 50% . Sebab dalam pertempuran diperlukan ketenangan. Apabila ia terbakar oleh kemarahannya sendiri otomatis akal sehatnya tak dapat digunakan lagi. Hal ini bisa mencelakai diri sendiri. Untung ejekan Roro Wuni tak dirasakan sepenuh hati.
            “Tutup mulutmu hai perempuan kotor, sebentar lagi mulutmu yang bau itu akan aku robek-robek, biar wajahmu menjadi seperti setan gentayangan ......hahahaha”.
Ejekan Wiroguno menusuk hati kecil kewanitannya. Wajah adalah salah satu kebanggaan bagi wanita, untuk itu setiap wanita pasti sangat memperhatikan wajahnya. Mereka selalu berusaha agar wajahnya selalu tampak muda dan cantik itu naluri semua wanita. Hal inilah inilah yang membuat kemarahannya naik ke ubun-ubun. Roro Wuni mengebutkan tangannya sedetik kemudian berhembuslah gelombang angin menghantam ke arah Wiroguno. Untuk menghindarinya ia harus berjungkir balik di udara. Roro Wuni tak mau melepaskan musuhnya, ia memburu terus ke arah Wiroguna. Meski Roro Wuni menggempurnya habis-habisan tapi Wiroguno melayani dengan mantab. Sebenarnya inilah yang diharapkan Wiroguno dalam keadaan kalap seperti itu Roro Wuni tak memperhatikan keselamatan dirinya. Kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Wiroguno. Secara cepat laki-laki bertubuh kekar ini menggeliatkan tubuhnya, kedua tangannya berkelebat ke arah bahu Roro Wuni, sesaat Roro Wuni terkejut buru-buru ia miringkan tubuhnya, sebelum sempat menghindar serangan yang pertama menyusul serangan yang kedua dan ke tiga. Tak pelak lagi punggung dan bahunya kena hantaman. Roro Wuni meringis kesakitan rasanya mau menjerit kalau ia tidak malu.

Versi pdfnya bisa di donload di sini

Rabu, 23 Maret 2016

PENDEKAR SANDI MATARAM 23022016



            “ Hebat …………..anak itu  suatu saat nanti ia pasti akan menjadi seorang pendekar yang sakti “ Gumam Ranggo Puspo
Tiba-tiba cabang pohon di atas Aryo Megantoro patah, kemudian jatuh melayang tepat di atas kepalanya. Cabang pohon itu cukup besar. Apabila pohon itu mengenai kepala Aryo Megantoro setidaknya akan membuat ia kesakitan bahkan bisa gegar otak. Kita ketahui bahwa bagian kepala adalah bagian tubuh yang rawan meskipun keras. Ranggo Puspo terkejut namun ia tak dapat berbuat banyak jarak antara dia dan Aryo Megantoro cukup jauh meski ia mempunyai ilmu mengentengi tubuh yang hebat, tetap saja masih kalah cepat dengan jatuhnya pohon kea rah Aryo Megantoro. Apa yang terjadi selanjutnya. Saetelah pohon itu tinggal sejengkal dengan spontan tangan Aryo Megantoro bergerak menangkis.
            “Praaaakkkk”
Pohomn itu berhasil ditangkisnya dan, apa akibatnya? Pohon itu terpental balik menabrak pohon yang lain kemudian pohon itu patah. Sedang Arya Megantoro terlontar jatuh. Ronggo Puspo cepat melompat menghampiri Aryo Megantoro.
            “Aryo …..kau tidak apa-apa anakku? Dengan perasaan cemas.
Aryo Megantoro menggelengkan kepalanya.
            “Aku tidak apa-apa ayah hanya tanganku agak sakit dan kesemutan”
Mendengar jawaban itu Ranggo Puspo menjadi lega, tapi untuk meyakinkan, ia memeriksa seluruh tubuh anaknya. Setelah memeriksa sekian waktu akhirnya ia yakin kalau anaknya memang benar-benar tidak luka dalam.
Bagaimanakah sebenarnya yang terjadi. Mengapa Aryo Megantoro mampu menghantam balik cabang pohon yang cukup besar ? memang tak perlu heran karena keadaan Aryo Megantoro sekarang berlainan bila dibanding beberapa hari yang lalu. Karena ia kini telah mempunyai tenaga gaib yang masih tersembunyi. Hal ini pula yang menjadikan Ranggo Puspo terkejut sekaligus heran. Semenjak mendapatkan wahyu di malam itu kekuatan Aryo Megantoro menjadi berlipat ganda danpanca inderanya menjadi lebih tajam. Seumpama Aryo Megantoro belum mendapatkan tenaga gaib itu, mungkin kepalanya sudah pecah. Ranggo Puspo masih mengusap-usap kepala anaknya seakan kepala itu benar-benar tertimpa pohon. Ia tak percaya dengan pandangan matanya sendiri bahwa Aryo Megantoro anak yang masih berumur 7 tahun itu mampu menghantam pohon yang cukup besar. Ini sulit dipercaya kalau ia sendiri tak melihatnya. Setelah menenamgkan hati anknya Rangga Puspo melanjutkan perjalnannya. Ranggo Puspo menanyakan hal-hal yang dianggapnya tidak lumrah berkaitan dengan kejadian tadi.
            “Aryo dari mana kamu mendapatkan tenaga sebesar itu, hingga pohon itu terpental?” Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu diutarakan. Namun ia lakukan untuj mengurangi ketidak mampuan pikirannya untuk menelaah kejadian yang dianggapnya janggal atau tidak masuk akal.
            “Mana aku tahu ayah”. Jawaban Aryo Megantoro spontan. Namun jawaban ini sudah dapat ditebaknya. Ranggo Puspo menjadi semakin bingung. Sebelum kebingungannya berlarut-larut Aryo Megantoro mulai berkata lagi
“Hanya…….
Sebelum selesai perkataan Aryo Megantoro, Ronggo Puspo telah memotongnya.
            “Hanya apa Aryo…..ayo coba jelaskan biar ayahmu ini tahu”.
Dengan nada mendesak. Tak terasa tangannya mencengkeram pundak anaknya. Mendapat tekanan tenaga dari luar dengan otomatis tenaga gaibnya berontak, dan melawan tenaga yang menghimpitnya. Mendadak Ronggo puspo terkejut merasakan ada arus tenaga yang menyusup ke tangannya. Buru-buru ia melepaskan cengkeramnannya, sekaligus sadar ia sedang mencengkeram anaknya.
            “Aryo …..apa yang kamu lakukan ini ?”
            “Kenapa ayah mencengkeram pundakku?”
Mendapat pertanyaan yang terduga itu ia menjadi gelagapan.
            “Aku ……tak sengaja – berhenti menenangkan diri- Tapi mengapa tubuhmu menjadi keras?”
            “Itulah ayah yang hendak aku katakana, seperti tadi waktu aku hamper kejatuhan pohon, tiba-tiba aku kepingin menangkisnya dan seperti ada tenaga yang besar dari tubuhku mendorong ke luar sehingga aku mampu menghantamnya.”
            “Apakah hal itu sama juga dengan waktu aku mencengkerammu?”
            “Benar sekali ayah”. Jawab Aryo singkat.
            “Ah…berbahagialah kau Aryo itu adalah tenaga gaib. Dengan tenaga gaibmu kau akan mampu menghantam pecah batu sebesar gajah”>
            “Benar itu ayah…aku dapat memecahkan batu sebesar gajah?”. Seakann tak percaya
                        “Benar anakku, tapi kau harus berlatih ilmu silat dengan tekun. Lagi pula kau jangan sampai lupa bahwa kekuatan gaibmu itu berasal dari Tuhan. Untuk itu ku harus bersyukur kepada-Nya”.
 versi pdfnya bisa di unduh di sini

Senin, 22 Februari 2016

PRAJURIT SANDI MATARAM 22022016

Pagi harinya mereka bekumpul dengan gembira, terutama Ronngo Puspo dan isterinya, yang bernama Warsih. Nyi Warsih seorang wanita yang cantik. Tubuhnya sedang saja sedang usianya kira-kira baru 28 tahun. Aryo Megantoropun kelihatan cerah pagi  itu. Melihat kedua orang tuannya begitu bahagia di pagi itu.
Tapi sesungguhnya kebahagiaan orang tua itu bukan lantaran mereka saling bertemu kembali, tapi lebih dari pada ltu. Nyi Warsih saat ini sudah tahu peristiwa yang dialami oleh anak satu-satunya. Sebab itulah mereka suami isteri itu sangat berbahagia.
            “Kakang Ronggo apakah kau jadi membawa Aryo Megantoro kepada Ki Buyut Danurekso hari ini?” Nyi Warsih memecah kesunyian. Mendengar pertanyaan ibunya bocah kecil Aryo Megantoro menjadi tertarik.
            “Benar Nyi kapan lagi kalau bukan hari ini. Aku ingin kepastian dari orang sakti itu”
Mendengar disebutnya orang sakti .Aryo Megantoro menjadi penasaran. Ia tak dapat menahan rasa ingin tahunya. Maka cepat-cepat ia memotong pembicaraan.
            “Ayah siapa orang sakti itu ?” penasaran
            “Hemm ….rupanya kau mulai tertarik anak kecil ?”
            “Ah… ayah masih saja menganggap aku sebagai anak kecil” Sambil merengut. Melihat hal itu ayahnya tertawa panjang, sementara ibunya cuma tersenyum saja.
            “Kalian anak dan bapak sama-sama sifatnya. Kalau sudah membicarakan masalah oang sakti atau ilmu kesaktian. Masalah lain seperti tak ada gunanya, memangnya isi dunia ini hanya masalah kesaktian saja yang ada. Huh !”
Kini giliran anak dan bapak yang saling tertawa.
            “Nah itu ….kalian malah menetawai aku, kalian memang sama-sama bandel.”
            “eh…siapa yang bandel , aku tidak bandel ….iyakan Aryo – Memandang ke arah Aryo Megantoro – Apakah aku bandel ?” Mengulang pertanyaan.
            “lho …ayah kok Tanya sama aku, mana aku tahu” Balas Aryo Megantoro
            “Sudahlah nanti malah tidak karuan, Kakang – Berhenti sebentar – aku sudah siapkan bekal untuk perjalanan, sekedar makanan kecil.”
Setelah bersiap-siap dan menata semua bekal yang mau di bawa pergi dan kedua anak bapak itu berpamitan kepada Nyi Warsih akhirnya Ranggo Puspo dan Aryo Megantoro meninggalkan kampung halamannya. Meeka meninggalkan desa itu dengan mengendarai kuda. Binatang itu berlari kencang menyusuri jalan-jalan perkampungan, debu mengepul setelah dilewati kuda Ronggo Puspo. Aryo Megantoro duduk tenang di depan ayahnya. Kelihatan ia senang sekali, perjalan ini adalah perjalan pertama kalinya bagi Aryo Megantoro bersama ayahnya. Kuda itu masih berlari, kelihatannya memang termasuk kuda yang pilihan sudah begitu jauh berlai tapi masih nampak kuat dan gesit. Hari mulai merangkak menuju siang, tak terasa mereka berada di punggung kuda sudah hampir setengah hari penuh. Kuda itu kini menyusuri jalan setapak di perbukitan.
            “Aryo , bagaimana kalau kita istirahat sebentar “
Aryo Megantoro hanya mengguk mengiyakan ajakan bapaknya.
            “Nah dipohon besar di depan itu kita istirahat.” Kembali Ranggo Puspo menggebrak kudanya. Ia bermaksud mempercepat lari kudanya. Setelah sampai Ronggo Puspo turun dari kudanya. Kemudian Aryo Megantoropun diturunkan dari kuda. Sambil istirahat itulah mereka menikmati bekal makanannya.
Angin perbukitan bertiup menerpa wajah dan tubuh mereka. Berkat angin yang bertiup itu mereka tak merasakan teriknya matahari di siang hari.
Secara iseng Aryo Megantoro mengingat-ingat pelajaran ilmu kanuragan atau ilmu silat yang pernah diajarkan oleh ayahnya. Dasar otaknya encer semua pelajaran dari ayahnya cepat ia hapalkan dan ia kuasai. Dan tanpa sengaja tangannya begerak –gerak memainkan sebuah jurus silat. Melihat itu Ronggo Puspo tersenyum, ia tetap diam di tempatnya dan pura-pura tak melihatnya. Gerakan Aryo Megantoro semakin indah dan lincah, semakin sebat dan cepat. Senyum orang tua itu semakin melebar. Sedari tadi Aryo Megantoro berusaha memainkan jurus-jurus dengan sepenuh tenaga. Ia masih saja memainkan jurus-jurus andalannya.

Versi pdfnya bisa di donload di sini



Minggu, 21 Februari 2016

PRAJURIT SANDI MATARAM 21022016

            Dengan amat lesu Arya Megantoro bangun dari tidurnya. Dengan amat hati-hati ia menuju kamar ibunya, sebentar ia melongok dan dipandangnya wajah ibunya. Kemudian ia melanjutkan kea rah pintu rumah dan dengan hati-haati pula ia membukanya. Suara berderit tanda pintu telah terbuka, setelah ia diluar iapun menutup kembali pintunya. Sesaat ia memandang sekeliling keadaan masih gelap gulita. Saat itu kira-kira masih pukul 3 lebih. Arya Megantoro duduk di sebuah batu pikirannya kosong tak menentu. Arya Megantoro masih duduk melamun, tiba-tiba datanglah sinar terang menuju dirinya. Namun karena pikirannya kosong maka ia tak begitu memperhatikan sinar terang yang menuju ke arahnya. Hanya sekali ia meliriknya dan kembali pikirannya kosong. Dan terjadilah hal yang sangat menajubkan, sinar terang itu tiba menyatu ke badan Arya Megantoro. Beberapa saat tubunya kelihatan bersinar kemudian perlahan-lahan meredup dan kemudian lenyap. Kejadian aneh tersebut tidak terlepas dari pandangan si pertapayang sejak semula ia membuntuti dari belakang.
“Ternyata wahyu itu bukan jodohku. Benarlah kata orang bahwa wahyu itu hanya akan mencari manusia yang benar-benar suci. Bahwa manusia yang mampu menerima wahyu adalah orang yang bersih dari nafsu “ Gumam si pertapa
Perlahan-lahan ia mendekati bocah kecil itu, amat perlahan ia membisikkan namanya.
            “Arya”
Aryo Megantoro menoleh dan mataya memandang si pertapa. Seakan ia tak percaya ada orang di depannya dan membisikkan namanya. Setelah beberapa saat barulah ia sadar.
            “Ayah”
Ia melompat dan langsung memeluk si pertapa yang ternyata adalah ayahnya sendiri. Arya Megantoro amat gembira sekaligus terharu atas kedatangan ayahnya yang kembali mendadak. Ia sudah lama menunggu kedatangan ayahnya baru mala mini ia dapat berjumpa. Namun sebenarnya si ayahlah yang lebih berbahagia karena ia tahu bahwa anak satu-satunya mendapat anugerah dari Tuhan. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan anugerah tersebut. Kebahagiaan Ronggo Puspo tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Meskipun kepergiannya untuk mendapatkan wahyu kini gagal. Tapi justru anaknya sendiri yang berhasil mendapatkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
            “Aryo mengapa malam-malam begini kamu masih berada di luar rumah. Bagaimana kalau kamu nanti jatuh sakit nak ?” Ranggo Puspo khawatir
            “Aku menunggu ayah, kenapa ayah lama sekali perginya ?” Selidik Aryo Megantoro. Sambil menarik tangan ayahnya untuk digandeng ke serambi rumah. Kemudian anak dan ayah itu Saling pandang dan duduk bersama.
            “Aryo – Ranggo Puspo meneruskan pertanyaan – Apakah ibumu masih tidur, hingga kamu menunggu ayah sendirian ?”
Aryo Megantoro menganggukkan kepalanya. Tanda membenarkan pertanyaan ayahnya.
            “Ya , ayah tadi ibu masih tidur pulas dan aku takut membangunkannya”. Jawabnya jujur.
Ranggo Puspo mengangguk-anggukan kepalanya sambil menatap tajam Aryo Megantoro dengan hati bangga kepada anak satu-satunya itu.
            “Kakang Ronggo mengapa kau membiarkan anak kita Aryo kedinginan di luar, masuklah !”
Suara seorang wanita dari arah dalam rumah. Dan sesaat wanita itu menghampiri Ronggo Puspo dan Aryo Megantoro.
“Oh…..kamu juga sudah bangun Warsih?” Ronggo Puspo terkejut. Sementara  Nyai Warsih isteri Ronggo Puspo tak menghiraukan pertanyaan suaminya.
            “Anak sama bapaknya sama-sama bandelnya, ayo masuk !” nyai Warsih pura-pura marah. Dan akhirnya kedua laki-laki anak dan bapak itu akhirnya masuk ke dalam rumah dengan perasaan bersalah.


Versi pdfnya bisa diunduh di sini 

Rabu, 17 Februari 2016

PRAJURIT SANDI MATARAM 18022016



Sementara daun pohon yang terinjak oleh kakinya hanya bergoyang-goyang saja. Hal ini membuktikan bahwa ilmu mengentengi tubuhnya sudah berada pada taraf yang sangat tinggi. Untuk mengimbangi kecepatan cahaya itu ternyata si pertapa harus mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Namun begitu ia tak berhasil mengimbangi kecepatan cahaya yang ada di depannya. Untunglah sinar cahayanya bisa membantu menolong kemana arah cahaya itu bergerak.
            “Celaka ! cahaya itu terlalu cepat bagiku, aku tak mampu mengejarnya”  Gumamnya dalam hati
Si Pertapa masih saja mengejarnya, tak mau ia melepaskan barang sedetikpun. Bayangannya berkelebat cepat sekali. Seandainya ada manusia yang melihatnya. Mungkin dikiranya hantu malam yang bergentayangan. Tapi untunglah tidak satupun manusia yang melihatnya saat itu. Pohon-pohon yang lebat dan tebing yang terjal bukan halangan baginya, kecepatan tubuhnya susah diukur bagi manusia awam.
            Kita tinggalkan si pertapa yang sedang mengejar cahaya terang itu. Marilah kita ikuti dan menengok ke sebuah desa yang banyak ditumbuhi oleh bambu ori dan kebayakan desa-desa waktu itu masih banyak tumbuh bambu ori di halaman rumah masing-masing. Bahkan rumah-rumah penduduk saat itu kebanyakan masih berbahan baku dari bambu. Selain mudah didapat juga saangat sederhana cara membangun rumah dari bambu. Kebanyakan orang jaman dulu membangun rumah yang penting bisa untuk berteduh.
            Desa itu masih kelihatan sunyi, karena malam masih menyelimuti bumi. Suasana di sana sini masih nampak gelap gulita. Sebuah rumah yang sederhana namun kelihatan bersih. Halaman rumah itu ditata dengan rapi dan di sekitarnya ditanami bunga-bunga beraneka warna, sehingga indah dipandang mata serta menambah asri rumah tersebut. Karena hari masih gelap keindahan halaman itu masih samar-samar terlihat.
            Yang mengherankan adalah seorang anak kecil yang berusia sekitar 7 tahun. Saat itu ia sudah terjaga atau mungkin malah belum tidur sama sekali. Ia merasa tak dapat memejamkan mata. Meskipun tubuhnya dibaringkan di atas tempat tidur. Ia merasa tidak nyaman kadang miring ke keri kadang ke kanan kadang telentang kadang tengkurap. Ternyata keadaan seperti ini telah berlangsung sejak sore hari. Saat ibunya mencoba menengoknya ia pura-pura tidur pulas. Yang menjadi bayangan adalah perkataan ayahnya yang masih mengiang di telinganya.
            “Anakku! Ayah mau pergi jauh. Kau harus berada di rumah dan harus nurut sama ibu. Kamu harus mau membantu ibu di rumah.”
Begitulah pesan terakhir ayahnya yang sampai sekarang masih teringat di kepalanya. Ia tak dapat menebak kemana ayahnya pergi. Karena waktu ia bertanya kepada ayahnya ia tak mau menjawabnya.
            “Ayah sebenarnya mau kemana ?”
            “Ayah mau pergi jauh, kamu tak boleh nakal ya nak !”
Jawaban ayahnya masih terdengar ditelinganya. Sudah beberapa hari ia nampak murung. Karena sampai hari ini ayahnya masih belum kembali juga. Perasaannya menjadi tak enak, jangan-jangan ayahnya kenapa napa begitu pikirnya. Meskipun Arya Megantoro baru berusia 7 tahun namun ia mempunyai sifat yang lebih dewasa dibanding dengan umurnya. Perawakan anak itu bisa dikatakan tegap wajahnya tampan atau bisa dikatakan lebih dari tampan. Mukanya bulat telur matanya bersinar tajam, hidungnya mancung dan kulitnya sawo matang tapi bersih. Meski ia anak desa tapi tidak seperti kebanyakan anak desa yang dekil dan kotor.
Semenjak kecil ia mempunyai tanda-tanda seorang anak yang cerdas. Cara berpikirnya sudah melebihi anak setaranya, kadang orang tuanya tak percaya bahwa Arya Megantoro bisa berpikir sejauh itu. Hal itu dilihat karena umur 7 tahun pada masa itu masih bisa dikatakan masih anak-anak.

Versi pdfnya bisa di donload di sini

PRAJURIT SANDI MATARAM 17022016



            Kalau kita membandingkan dengan ilmu pengetahuan tadi, maka sinar terang tersebut adalah semacam komet (bintangberekor” lintang kemukus”) atau meteor. Namun dalam masa cerita ini sinar tersebut adalah semacam wahyu. Benarkah cahaya itu adalah wahyu, atau hanya hanya benda angkasa biasa.
Hanya Tuhan yang tahu….
Mendadak sinar terang itu berhenti tak jauh dari tempat orang yang bertapa itu. Perlahan-lahan matanya terbuka sejenak matanya meyipit lagi akibat cahaya yang menyilaukan. Namun setelah mengerahkan tenaga dalamnya ia terbebas dari silaunya cahaya itu. Tempat sekitar itu menjadi terang benderang . masih dalam keadaan duduk ia menatap tajam sinar terang di depannya, seakan tak mau berkedip barang sekejap saja. Perlu diketahui bahwa manusia pada umumnya amat mengharapkan adanya “wahyu”. Banyak manusia bertapa hanya berharap mendapatkan wahyu. Namun yang jelas bahwa wahyu itu tidaklah mudah untuk mendapatkannya. Karena wahyu tidaklah sembarang menyatu kepada orang. Dalam hal ini bukan orangnya yang mencari wahyu tapi sebenarnya  wahyu itulah yang mencari orangnya. Kalau diibaratkan wahyu adalah isi sedang manusia adalah wadahnya (tempatnya). Seperti halnya manusia bahwa wahyu itu adalah jodohnya, meskipun seseorang mencarinya dan mengubarnya , namun kalau bukan berjodoh ya tetap tak akan berhasil mendapatkannya.
            Si pertapa terkejut melihat sinar terang itu tiba-tiba pecah menjadi dua bagian, selanjutnya keduanya melesat sangat cepat meninggalkan tempat itu. Yang satu melesat ke Timur sedang yang satunya melesat kea rah barat. Si pertapa merenung sesaat, kemudian ia bangkit dan…
            “Wuuuusssss   !!!
            Iapun melesat mengejar cahaya itu yang menuju ke Arah Timur. Si pertapa adalah orang yang mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi khususnya ilmu meringankan tubuh. Seseorang yang mempunyai ilmu mengentengi tubuh yang tinggi , maka ia akan dapat lari dengan cepat bagaikan terbang. Begitu pula dengan si pertapa. Ternyata ia melesat sangat cepat saking cepatnya hingga bayangannya saja yang terlihat. Kakinya tak menapak di tanah sedabg kakinya hanya bersandar pada pohon-pohon semak maupun daun-daun pohon.

versi pdf bisa donload di sini